Rss

Risalah (3) Masalah Iddah bagi Wanita yang Ditalak



  masa 'iddah talak ceraiBagi wanita yang telah ditalak, ia harus mengetahui perihal ini. Karena wanita yang ditalak baru bisa menikah lagi dengan pria setelah ia selesai dari masa ‘iddahnya. Jika masih dalam masa ‘iddah, suaminya masih bisa rujuk tanpa mesti dengan akad baru. Namun kalau sudah melewati masa ‘iddah, lantas suami ingin kembali lagi pada istri, maka harus dengan akad yang baru. Kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai masa ‘iddah bagi wanita.
Pengertian ‘Iddah
Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 391), yang dimaksud ‘iddah adalah masa waktu terhitung di mana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya rahim, di mana pengetahuan ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan bulan atau dengan perhitungan quru’.
Pembagian Masa ‘Iddah
Al Qodhi’ Abu Syuja’ dalam matannya membagi ‘iddah pada wanita dilihat dari sisi wanita yang diceraikan menjadi: (1) wanita yang ditinggal mati suami, (2) wanita yang tidak ditinggal mati suami.
1- Wanita yang ditinggal mati suami
Wanita yang ditinggal mati suami ada dua macam: (a) ditinggalkan mati dalam keadaan hamil, (b) ditinggalkan mati dalam keadaan tidak hamil.
(a) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Begitu juga dalil mengenai Sabi’ah Al Aslamiyah, ia melahirkan sepeninggal suaminya wafat setelah setengah bulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِى مَنْ شِئْتِ
“Engkau telah halal, silakan menikah dengan siapa yang engkau suka” (HR. An Nasai no. 3510. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
(b) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Ditambah dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Sedangkan wanita hamil yang ditinggal mati suami tidak termasuk dalam dua dalil ini karena dikhususkan dengan dalil yang disebutkan sebelumnya.
2- Wanita yang tidak ditinggal mati suami
Yang dimaksud wanita jenis adalah wanita yang diceraikan, wanita yang berpisah dengan li’an atau faskh, atau setelah disetubuhi. Untuk wanita jenis ini ada tiga macam: (a) diceraikan dalam keadaan hamil, (b) diceraikan dengan ‘iddah hitungan quru’, (c) diceraikan dengan ‘iddah hitungan bulan
(a) Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(b) Wanita yang memiliki quru’ bagi wanita yang masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah: 228).
Yang dimaksud quru’ di sini diperselisihkan oleh para ulama karena makna quru’ yang dapat dipahami dengan dua makna (makna musytarok). Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat dalam madzhab Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.
01/09
05/09 - 11/09
11/09 - 05/10
05/10 - 11/10
11/10 - 05/11
05/11 - 11/11
11/11
Talak ketika Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci
Haidh
Suci












  • Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
  • Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh?
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).
Catatan:
•  Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
•  Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.
(c) Wanita yang tidak memiliki masa haidh yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(d) Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (hadiah untuk membuat mereka senang) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49).
Apa saja hak wanita yang mengalami masa ‘iddah, apakah masih diberi nafkah? Mengenai hal ini akan diulas -dengan izin Allah- pada pembahasan risalah talak selanjutnya. Wallahul muwaffiq.

Risalah (2) Hukum dan macam Talak



talak_1Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, rumaysho.com berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.[1]
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”[2]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.[3]
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.[4] Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi[5], Syaikh Al Albani[6], dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi[7].
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin  lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.[8]
Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i
Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.
Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.[9]
Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.[10]
***
Insya Allah risalah talak ini masih berlanjut pada serial berikutnya. Moga menjadi ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346.
[2] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.
[3] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki, Dr. ‘Abdul Fattah Muhammad Al Halawi, Dar ‘Alam Al Kutub, 10/323
[4] HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196.
[5] Sunan Al Baihaqi, 7/322.
[6] Irwaul Gholil no. 2040
[7] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan pertama, 1409, 10-12.
[8] Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224.
[9] Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa talak sunni adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.
[10] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, hal. 13-14.

Risalah (1) Syarat Talak


rsz_ring_1Alhamdulillah  wa shalaatu wa salaamu ‘ala rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Pada kesempatan sebelumnya telah kami angkat bahasan  talak. Yang dibahas saat itu adalah definisi talak, dalil dibolehkannya talak, hukum talak dan macam talak. Berikut ini, bahasan talak akan menjelaskan sebagian hal yang berkaitan dengan syarat-syarat talak.
Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.
Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak
Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada  sesuatu yang bukan miliknya.[1]
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).
Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ
Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.[2]
Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,
كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).
Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.
Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.
Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.

Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.

Riyadh-KSA, 5 Rabi’uts Tsani 1432 H (10/03/2011)
www.rumaysho.com


[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.
[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).